“Riana, kakak mau pergi yah! Kakak harap kamu baik-baik saja disini yah!” ucap naina dengan lirih, ia memeluk adik satu-satunya yang ia miliki itu.
Koper pink itu tampak rapi, Naina memakai topi merah yang sering bahkan sangat sering ia kenakan. Di tempat tidur itu, Rianan tampak menggerak-gerakkan tangannya lagi, ia ingin kakannya meraih tangannya itu.
Naina mulai membuka jendela kamar mereka, jendela yang sangat mudah dilewati untuk seorang pencuri. Angin malam mulai masuk dan menusuk relung tubuh gadis itu.
Matanya tertuju pada lukisan pelangi indah yang bertahun-tahun ia persiapkan untuk adiknya, jika adiknya mendapatkan donor mata itu.
Bergerak lagi, Tangan Riana masih tidak berhenti bergerak. Ia mencoba berdiri dan mencari Naina hingga ia terjatuh di lantai. Koper yang baru saja Naina angkat tiba-tiba terjatuh dan mengenai kakinya.
“aduh...sakit.Dasar koper sialan.”
Ia tak memperhatikan begitu banyak tentang koper itu, segera ia berlari menghampiri adiknya.
“ada apa?”ucap Naina
Riana yang terjatuh, segera memeluk kakaknya.
“Apa? Ada apa? Kau membutuhkan sesuatu?”
Riana menganggukkan kepalanya
“Air mungkin,”
Riana menggeleng. Naina terdiam, ia mencoba mencari tahu apa yang adiknya itu inginkan
“apa riana ingin kakak tidak pergi?”
Riana mengangguk. Lutut Riana agak sedikit terluka.
Tak lama terdengar hentakan kaki dari luar kamar mereka. Ibu, itu ibu Riana dan Naina. Suara koper itu ternyata membuat ibunya khawatir. Ibu mereka mendapat Riana sedang terjatuh didekat tempat tidur.
Lagi dan lagi, salah paham terjadi. Naina dituduh lagi sebegai orang yang jahat dan ingin mencelakai Riana.
“Naina, apa yang kau lakukan pada Riana? kau berniat untuk mencelakainya kan? Benarkan?”
“Tidak, bu. Tidak”
Ibu dengan segera menarik tangan Naina menuju lantai dasar rumah ini.
“ini anakmu, ia mencoba untuk mencelakai Riana” Ucap ibu kesal dihadapan ayah naina
“Tidak, yah. Aku tak pernah ingin mencelakakan Riana”
“Alah, sok baik. Dihadapan kami memang tidak, tapi dibelakang kami” bantah ibunya
“tidak, tidak,”bantah Naina lagi lirih
“Kamu tidur diluar sekarang”
“ibu,...”tegur Ayah dengan lantang
“Tidak, Naina tidak boleh tidur diluar. Ibu, selalu mempersalahkan Naina, ibu selalu menghakimi Naina? Sekarang, ayah tanya, apa ibu melihat dengan mata kepala sendiri Naina mencelakakan Riana? Apa ibu pernah meilhat dengan mata sendiri Naina mempermalukan Riana?”
Suasana Hening namun tegang. Ibu tak dapat menjawab
“Tidak, tidakkan? Ibu tidak pernah lihat apa-apa. Selama ini ibu terlalu menyimpan dendam yang ingin ibu lampiaskan pada Naina”
“iya memang benar. Karena semua terlau mudah untuk Naina, kehidupannya, kecantikannya semuanya sempurna.Tapi riana, apa? temanpun tak ada. Aku, aku hanya takut kalau nanti anak ini akan membuat Riana semakin terpojok, aku takut jika ia lupa pada saudaranya”
“Tidak, bu. Aku tak akan melupakan Riana”
***
Karena konflik semalam, Naina gagal melancarkan kegiatan ‘kabur’ dari rumahnya. Lagi pula, Naina kembali menjernihkan pikirannya bahwa itu bukanlah niat yang baik dan cara itu tak akan menyelesaikan masalah.
Kebisingan sekolah kembali menyapa dirinya. Disana teman-temannya sedang berkumpul. Sedari tadi Naina duduk diam termenung.
“Naina kenapa yah” bisik teman Naina, Rio
“Tau, mikirin kamu kali” balas, Tia
“Ah...serius nih! Dari tadi naina hanya diam nggak jelas gitu!”
“Kalo gitu samperin aja, susah banget sih!”
Teman Naina pergi menghampirinya. Mereka berusaha menghibur Naina. Meski tak mengalami perubahan raut wajah pada naina.
“Oh Naina mengapa kau terus bersedih?”
Tia mencoba untuk menghibur Naina menggunakan boneka tangan yang ia miliki.
“aku tidak yahu, mengapa aku sedih”
“Jelek deh kalau sedih, Kamu tahu nggak mata kamu itu besar banget kalau dibandingkan mata kamu kalau nggak sedih. Hidung kamu lebih besar dan merah kalau lagi sedih. Senyum dong Naina” Kata Tia lewat boneka tersebut
Tak lama Naina tersenyum. Pikiran Naina melayang memikirkan Riana. Riana tak pernah merasakan indahnya memiliki teman. Di sekolah luar biasapun, Riana memiliki sedikit teman.
Naina meminjam boneka itu. ia membawa boneka tersebut pulang kerumah.
“Riana ini kakak punya boneka, ini pegang yah! Namanya Si Puca”
Riana memegang boneka tersebut, terlihat senyuman di bibir Riana.
“Halo namaku Puca, kamu cantik deh kalau senyum, senyum dong!” kata Naina merubah suaranya seolah-olah Puca sedang berbicara
Di luar sana sedang Hujan, mereka berdua tengah bermain dengan boneka itu. tanpa sengaja ibu Naina dan riana memperhatikan dari balik pintu, pintu kamar mereka tidak tertutup rapat. Sehingga ibunya dapat memperhatikannya dengan mudah.
Senyum, akhirnya ibu mereka tersenyum karena Naina. Tak lama ibunya pergi.
Hujan telah berhenti, Naina berniat membawa Riana kesuatu tempat. Yah, Naina membawa Riana pergi kesuatu tempat menggunakan kursi roda, di dekat danau.
“Riana, tempat ini sangat indah. Kakak berharap suatu saat kamu bisa melihatnya. Pasti, kamu pasti akan melihatnya.”
Tangan Riana memegang kuat Naina
“Riana, bagaimana mendeskripsikannya yah? Aku ingin Riana tahu betapa indahnya Pelangi yang muncul setelah hujan. Di langit sana ada pelangi. Indah sekali.
“pelangi itu berwarna Merah, dibagian atasnya, dibawahnya ada warna kuning, hijau,biru, hingga ungu. Diatas langit yang masih berwarna abu-abu, saat pelangi muncul kesejukan juga muncul, angin bertiup lembut, dan saat pelangi muncul aku selalu teringat dengan adik kakak, Riana Pelangi Muchlis”
“suatu saat Riana datang yah ketempat ini!”
Naina memgang kepala Adiknya itu dengan lembut, sambil menatap ke angkasa.
Hujan, ternyata hujan masih ingin Turun. Naina tiba-tiba saja Panik. Ia tak ingin adiknya sakit. Dengan segera, ia melarikan Riana menuju rumah. Semakin lama hujan semakin deras, jaket yang Naina kenakan ia lepas untuk melindungi Riana. Ia menutupi kepala Naina dengan jaket itu.
“Maaf yah riana, kakak tidak sengaja. Kakak pikir hujan sudah berhenti”
Pikiran Naina perlahan menjadi semakin linglung, ia takut jika ibunya akan semakin marah. Di satu sisi ia juga takut jika kondisi Riana akan semakin buruk.
Ia masih tetap berusaha untuk Melindungi adiknya, Ia berusaha meniggikan dirinya agar ia bisa menutupi kepala adiknya, agar tidak terlalu basah.
“Tenang yah, adikku kita hampir sampai” ucap Naina lirih
Riana memegang tangan Naina dengan erat
Setibanya dirumah, Mereka tiba dengan basah kuyup.
“Naina, kenapa adikmu seperti ini! Ibu pikir kamu sudah baik, ternyata...”
Tamparan mendarat dipipi Naina yang basah. Benar dugaan Naina ibunya semakin marah.
“Maafkan aku ibu....”Ucap Naina lirih
Usaha yang selama ini ia bangun agar ibunya menyayangi dirinya seolah runtuh dengan perbuatannya yang baru-baru saja.
Naina berjalan menghampiri Riana, ia ingin memeluk Riana, meski terasa tubuh Naina sudah sangat lelah. Namun, tak sempat ia memeluk Riana ibunya menghalanginya.
“Sudah pergi kamu,...”
Ibunya masih sangat jengkel dan menodorongnya agar jatuh.
“II..bu jangan....”
Suara itu, Riana berbicara. Akhirnya riana berbicara
“aapa?Riana kamu berbicara sayang” kata Ibunya
Alangkah senangnya Naina, ia berdiri dan ingin memeluk adiknya itu. namun lagi, lagi ai disuruh pergi oleh ibunya.
“sudah pergi...ini semua karena kamu”kata ibunya
Naina segera berlari ditengah hujan yang mengguyur kota itu.
“Ya Allah, apa salahku?kenapa ibuku seperti itu. Ibu, maafkan aku, aku tak bisa menjadi anak yang berbakti bagi ibu, terlalu banyak yang kuharapkan dari ibu. Kasih sayang, mungkin itu terlalu mahal untukku” desah Naina
Ia terus berlari entah mengarah kemana
“Ibu, aku ingin ibu tahu kalau Aku sayang sama Ibu, Aku sayang sama Riana, Dia adalah Cahaya pelangiku, Riana adalah adik yang terbaik untukku, terima kasih ibu” lanjut Riana
Sambil berlari ia melontarkan kata-kata seperti itu.
“Ibu, suatu saat nanti aku ingin membahagiakan ibu, entah dengan cara apa.”
Ternyata, dari kejauhan ada mobil yang melaju dengan cepat yang tak sengaja menabrak Naina.
Terlihat orang berpakaian serba hitam di depan kuburan makam itu. Itu makam Naina, gadis yang berparas cantik yang telah meninggalkan keluarganya.
Sebelum meninggal di rumah yang bergaya eropa itu.
“kak Naina tak pernah menyiksaku. Ia selalu membuatku senang, ia selalu mengajariku,bu” kata Riana lirih
“Kak Naina yang selalu berusaha membahagiakanku disaat aku tengah sepi. Kak Naina adalah kakak terbaik yang kupunya, hanya ada satu dan tak pernah tergantikan untukku” lanjut Riana
“Kak Naina selalu menjadi sahabat terbaik untukku, dia selalu cerita tentang teman disekolahnya yang lucu, Kak Naina melakukan semuanya denga tulus. Tapi, ibu mengapa ibu selalu menuduhnya yang tidak-tidak?” lanujt Riana
Di depan kuburan itu, Terlihat seorang gadis yang memeluk batu nisan Naina.
“Kak riana, jangan pergi” itu adiknya
Kini ia mampu melihat angkasa yang indah
Sebelum meninggal di rumah bergaya eropa itu.
“Apa? Jadi selama ini ibu salah paham. Naina maafkan ibu nak”
Ibu Naina dan Riana pergi keluar mencari Naina. Ibu Riana berlari sekencang yang ia bisa, ia sangat takut jika maafnya tak tersampaikan dan memang sudah tak tersampaikan.
Ia mendapati Naina tergeletak dijalan dan berlumuran dara pada bagian kepalanya. Naina segera dilarikan kerumah sakit.
“Naina sudah tak dapat diselamatkan lagi”kata Dokter
Di depan kuburan itu, ada ibunya yang tak hentinya menangis.
“Naina Maafkan ibu nak” desah ibunya disamping ayah
Di rumah sakit itu,
“Jangan, jangan sakiti Naina lagi. Ia sudah cukup menderita. Biarkan matanya tetap disitu”Ucap Ibunya
“Ibu, Naina pernah bilang jika bisa ia ingin mendonorkan matanya untuk Naina” ucap ayah
“Tapi, yah....Naina...” ucap ibunya
“Naina tak merasakan apa-apa lagi sekarang”
Yah, mata itu didonorkan untuk Riana, kini riana dapat melihat.
Di depan danau,
“kak ini kan tempat indah itu? Ada pelangi kak disana. Iya, benar sangat indah. Cahaya pelangi memang sangat indah. Tapi kakak masih jauh lebih indah, kak aku sayang sama kakak. Ibu juga, ia sangat sayang sama kakak.” Ucap Riana
saat pelangi muncul kesejukan juga muncul, angin bertiup lembut, dan saat pelangi muncul aku selalu teringat dengan adik kakak, Riana Pelangi Muchlis
“Saat pelangi muncul kesejukan juga mucul, angin bertiup lembut, dan saat pelangi muncul aku selalu teringat dengan kakakku, Naina Cahaya Cyntia Muchlis” lanjut Riana
“Kak, aku beruntung punya kakak seperti kak Naina”
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar